Langsung ke konten utama

Part selanjutnya.. SATU



KELALAIAN Emilia pada sikapnya di sekolah membuat Mama terpanggil ke sekolah. Itu sebuah bencana bagi dirinya. Dia berjalan menuju kelas dengan hati gelisah. Sesekali memperbaiki letak kacamata yang tergantung di hidung mancungnya karena sedikit tergelincir.
Emilia memperlambat langkahnya sambil mengambil napas panjang. Hatinya sekarang mencelus, bibirnya mengatup seperti burung nuri dengan alis mata yang menyatu dengan kepala menunduk.
Ketika dia hendak berbelok ke sudut koridor sebelah kiri, tiba-tiba seseorang muncul dari arah berlawanan. Mereka nyaris saling tabrak dan kaget. Namun Emilia tidak peduli, dia bahkan tidak memandang orang yang ada di depannya karena terlalu fokus melihat langkahnya.
Mereka mencoba melanjutkan langkah masing-masing. Namun keduanya saling melangkah ke arah yang sama dan itu terjadi berulang kali. Emilia menarik nafas dan seluruh kekesalannya terkumpul di puncak kepala.
“Eh, lo bisa nggak—” kalimat Emilia tertelan. Dia terpaku begitu memandang wajah orang yang ada di depannya.
Seperti ada angin segar yang melintasi dirinya di tempat yang panas dan terik.
Ditatapnya ada makhluk cute berdiri di depannya. Matanya tajam, hidungnya mancung. Postur tubuhnya tinggi namun tidak begitu jangkung. Kulitnya bersih dan rambutnya yang berwarna hitam, lurus dan pendek, terlihat manis dengan poni yang jatuh dikeningnya.
"Sorry..." ucap keduanya serentak. Cowok itu terlihat ramah.
"Gue buru-buru," sambung cowok itu menggerakan alis matanya ke atas sambil tersenyum kepada Emilia, kemudian berlalu dari hadapan Emilia.
Emilia seakan mau pingsan karena melihat cowok itu tersenyum, dia membalikkan badan. Memandangi kepergian cowok itu hingga hilang dari pelupuk matanya. 
Siapa dia? Batin Emilia yang masih menatap ke arah cowok itu pergi
Cowok yang mengenakan seragam putih dan celana abu-abu—bukan dari Sekolah Garuda.

***

Di luar sana yang tadi membuat hati Emilia seperti orang yang menemukan cahaya pada kegelapan, tiba-tiba perasaan itu kembali berubah menjadi gelisah ketika Mita membuka mulut di sampingnya saat ia sudah duduk di bangkunya.
"Gimana lo tadi, di ruang guru?" tanya cewek itu dengan suara nyaris terdengar. Mita menatap Emilia penuh minat dan siap mendengar apa yang terjadi.
Nama lengkapnya Mita Dianika, tertulis di badge seragamnya. Rambutnya pendek sebahu, dikuncir setengah, dan tinggi badannya setinggi leher Emilia. Mereka berteman sejak mereka duduk sebangku di kelas itu.
Mita teman yang kadang bikin Emilia gondok, karena sering kepo tapi paling baik juga karena sering memberi contekan. Sebenarnya itu tidak baik, karena PR yang dikerjakan Emilia selalu benar, sedangkan hasil nilai latihan atau ulangannya selalu jeblok, niatnya membantu Emilia tapi malah itu membuat Emilia sering di hukum gara-gara sering ketahuan membuat PR di sekolah.
"Lo diapain aja sama Bu Ratna?" tanya Mita lagi.
Emilia hanya memandangnya dengan diam tanpa mengubah air mukanya yang tampak kusut. Dia memandang ke papan tulis yang ada di depan kelas, segelintir soal fisika sudah menghiasi papan tulis itu.
"Lo dihukum lagi kayak kemarin.." sambung si pemilik mata agak sipit itu. "Disuruh hormat ke tiang bendera, ya?"
"Lebih dari itu!" desis Emilia, membuat Mita semakin ingin tahu.
Mita masih ingin meneruskan pertanyaan yang ada di otaknya. Tapi ia segera menelan kalimatnya ketika memandangi Bu Widya, wanita paruh baya yang bermata tajam di balik kacamata berbingkai hitam tipis, berbalik badan di depan kelas sambil memandangi mereka dengan pandangan berang.

***

Matahari bersembunyi di balik awan di langit. Halaman depan rumah Permai Indah nomor sembilan tampak teduh. Di teras rumah Emilia melepaskan sepatu yang dikenakannya. Jantungnya berdegup kencang, dia mengambil nafas dalam-dalam kemudian melangkah masuk. Namun ketika dia sudah masuk ke dalam, Emilia melihat koper berukuran sedang yang terletak di ruang tengah.
Seseorang muncul dari balik pintu kamar utama. Dia berpakaian rapi, mengenakan baju batik bercorak coklat kemerahan dengan jilbab polos berwarna krem. Ia melangkah ke ruang utama sambil memasang jam tangan di lengan kanannya.
"Mama mau kemana?" tanya Emilia memandang heran.
"Oh, kamu sudah pulang," ucap Mama tersenyum sambil memandang dan mendekati Emilia. “Mama akan ke Batam malam ini,” Mama memegangi kedua pundak Emilia.
"Mendadak begini Ma?"
"Ya, Emilia.” jawab Mama kemudian mendekati kopernya. “Karena Mama baru dapat kabar dari atasan Mama bahwa Mama harus mengikuti seminar penelitian selama seminggu," Mama menarik kopernya lalu kembali menatap Emilia. "Jadi kamu dan Kakakmu, baik-baik di rumah. Jangan berantem dan saling bantu, ok?" Mama mencolek hidung mancung Emilia dengan ujung telunjuknya.
"Seminggu? Tapi aku.. sekolah..." kata Emilia putus-putus. Ragu untuk mengatakan perintah Bu Ratna siang tadi.
"Kenapa di sekolah? Kamu baik-baik aja kan?" Mama balik bertanya.
"Hah, Iya.. baik kok ma.." kata Emilia menyeringai—berbohong.
Seseorang muncul dari balik pintu kamarnya. Ia mengenakan jaket hitam dengan kaos abu-abu dibaliknya. Cowok dengan gaya rambut pendek tipis.
"Gibran udah siap Ma, kita pergi sekarang?" kata cowok bertubuh 172 cm itu. melangkah mengambil kunci mobil di laci meja di dekat ruang tengah.
“Iya, kita pergi sekarang. Mama nggak mau ketinggalan pesawat.”
Gibran mengambil koper Mama dan menaikannya ke dalam bagasi mobil. Sementara Emilia sudah duduk manis di dalamnya.
Jam menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit sore. Walaupun begitu, airport tetap saja tidak pernah sepi. Mama yang mengenakan baju batik melambaikan tangan kepada kedua anaknya di seberang. Keduanya, Gibran dan Emilia melakukan hal yang sama ketika Mama telah melakukan check in.
Emilia menatap wanita yang telah melahirkannya itu dengan tatapan berat hati. Dia menghembuskan nafas berat dan menjatuhkan tangannya begitu Mama hilang dari pandangannya.
“Dibilang salah, nggak dibilang juga salah,” kata Emilia mengeluh. “Serba salah.”
“Apa?” tanya Gibran curiga, keningnya berkerut menoleh kepada Emilia. “Kamu nggak bilang apa sama Mama?”
Emilia memandang kakaknya dengan muka manyun sambil berkata, “Mama, dipanggil ke sekolah.. wali kelasku pengen ngomong.”
“Kenapa dipanggil?”
Emilia semakin bersalah, itu tampak jelas di wajahnya. “Nilaiku jeblok!”
Cowok itu menghela nafas sambil menerawang ke arah lain dengan muka geram, kemudian memandang adiknya lagi.
PLAK!
“Awww...” teriak Emilia. Dia kaget dan langsung meraba keningnya.
Gibran memukul kening Emilia sedikit keras dengan telapak tangan kanannya.
“Sakit tahu!” kata Emilia balik memandang laki-laki yang berusia dua puluh dua tahun itu.
“Anggap aja itu dari Mama,” kata Gibran kepada Emilia yang semakin manyun. “Kamu ya.. Kamu ngapain sih di sekolah sampe nilai jeblok?”
“Abang aja ya yang datang ke sekolah gantiin Mama,” kata Emilia tidak mengubris pertanyaan Gibran sambil mengusap-ngusap keningnya.
Lama Gibran menatap Emilia, sambil berkacak pinggang dengan isi kepalanya yang penuh dengan ketidak percayaan. Oh tidak, Gibran pasti tahu bagaimana perasaan Mama kalau tahu hal ini. Ini sangat memalukan.
Please..” bujuk Emilia sambil menyatukan kedua telapak tangan di depan muka. “Tapi jangan bilang Mama..”
“Ayo pulang!” katanya berjalan, tanpa memberi jawaban pada Emilia.
Emilia terperangah karena permintaannya tidak dijawab. Dengan perasaan panik, dia segera mengikuti Gibran ke parkiran. Gibran masuk ke dalam mobil dan Emilia melakukan hal yang sama, dia kebingungan.
Gibran sudah menjalankan mobil, namun Emilia tidak henti memandangi cowok itu dari balik kacamatanya.
“Jangan lihat Abang kayak gitu!” kata Gibran melihat Emilia sebentar.
Emilia hanya mengangkat kedua bahunya.
“Ok, hari apa Abang harus ke sekolah kamu?” katanya dan kembali fokus memperhatikan jalan.
Kata-kata yang keluar dari mulut Gibran membuat Emilia melebarkan senyuman. “Hari Senin!” katanya sumringah. “Thanks brother, you’re the best!
“Cukup kali ini ya!”
Emilia mengangguk puas.
“Awas aja kalau sempat ada yang kedua kali...” sambung Gibran.
Mobil itu semakin melaju dengan cepat.


Komentar