KELALAIAN Emilia pada sikapnya di
sekolah membuat Mama terpanggil ke sekolah. Itu sebuah bencana bagi dirinya. Dia
berjalan menuju kelas dengan hati gelisah. Sesekali memperbaiki letak kacamata
yang tergantung di hidung mancungnya karena sedikit tergelincir.
Emilia memperlambat
langkahnya sambil mengambil napas panjang. Hatinya sekarang mencelus, bibirnya
mengatup seperti burung nuri dengan alis mata yang menyatu dengan kepala
menunduk.
Ketika dia hendak
berbelok ke sudut koridor sebelah kiri, tiba-tiba seseorang muncul dari arah
berlawanan. Mereka nyaris saling tabrak dan kaget. Namun Emilia tidak peduli,
dia bahkan tidak memandang orang yang ada di depannya karena terlalu fokus
melihat langkahnya.
Mereka mencoba
melanjutkan langkah masing-masing. Namun keduanya saling melangkah ke arah yang
sama dan itu terjadi berulang kali. Emilia menarik nafas dan seluruh
kekesalannya terkumpul di puncak kepala.
“Eh, lo bisa nggak—”
kalimat Emilia tertelan. Dia terpaku begitu memandang wajah orang yang ada di
depannya.
Seperti ada angin segar
yang melintasi dirinya di tempat yang panas dan terik.
Ditatapnya ada makhluk
cute berdiri di depannya. Matanya tajam, hidungnya mancung. Postur tubuhnya
tinggi namun tidak begitu jangkung. Kulitnya bersih dan rambutnya yang berwarna
hitam, lurus dan pendek, terlihat manis dengan poni yang jatuh dikeningnya.
"Sorry..."
ucap keduanya serentak. Cowok itu terlihat ramah.
"Gue
buru-buru," sambung cowok itu menggerakan alis matanya ke atas sambil
tersenyum kepada Emilia, kemudian berlalu dari hadapan Emilia.
Emilia seakan mau
pingsan karena melihat cowok itu tersenyum, dia membalikkan badan. Memandangi
kepergian cowok itu hingga hilang dari pelupuk matanya.
Siapa dia? Batin Emilia yang masih menatap ke arah cowok itu pergi
Cowok yang mengenakan seragam putih dan celana abu-abu—bukan dari Sekolah Garuda.
Siapa dia? Batin Emilia yang masih menatap ke arah cowok itu pergi
Cowok yang mengenakan seragam putih dan celana abu-abu—bukan dari Sekolah Garuda.
***
Di luar sana yang tadi membuat hati Emilia seperti orang yang menemukan cahaya
pada kegelapan, tiba-tiba perasaan itu kembali berubah menjadi gelisah ketika
Mita membuka mulut di sampingnya saat ia sudah duduk di bangkunya.
"Gimana lo tadi,
di ruang guru?" tanya cewek itu dengan suara nyaris terdengar. Mita
menatap Emilia penuh minat dan siap mendengar apa yang terjadi.
Nama lengkapnya Mita
Dianika, tertulis di badge
seragamnya. Rambutnya pendek sebahu, dikuncir setengah, dan tinggi badannya
setinggi leher Emilia. Mereka berteman sejak mereka duduk sebangku di kelas
itu.
Mita teman yang kadang
bikin Emilia gondok, karena sering kepo tapi paling baik juga karena sering
memberi contekan. Sebenarnya itu tidak baik, karena PR yang dikerjakan Emilia selalu benar, sedangkan hasil nilai latihan atau ulangannya selalu jeblok, niatnya membantu Emilia tapi malah itu membuat Emilia sering di hukum gara-gara sering ketahuan membuat PR di sekolah.
"Lo diapain aja
sama Bu Ratna?" tanya Mita lagi.
Emilia hanya
memandangnya dengan diam tanpa mengubah air mukanya yang tampak kusut. Dia
memandang ke papan tulis yang ada di depan kelas, segelintir soal fisika sudah
menghiasi papan tulis itu.
"Lo dihukum lagi
kayak kemarin.." sambung si pemilik mata agak sipit itu. "Disuruh
hormat ke tiang bendera, ya?"
"Lebih dari
itu!" desis Emilia, membuat Mita semakin ingin tahu.
Mita masih ingin
meneruskan pertanyaan yang ada di otaknya. Tapi ia segera menelan kalimatnya
ketika memandangi Bu Widya, wanita paruh baya yang bermata tajam di balik
kacamata berbingkai hitam tipis, berbalik badan di depan kelas sambil memandangi mereka dengan pandangan berang.
***
Matahari bersembunyi di
balik awan di langit. Halaman depan rumah Permai Indah nomor sembilan tampak
teduh. Di teras rumah Emilia melepaskan sepatu yang dikenakannya. Jantungnya berdegup kencang, dia mengambil nafas dalam-dalam kemudian melangkah masuk. Namun ketika dia sudah masuk ke dalam,
Emilia melihat koper berukuran sedang yang terletak di ruang tengah.
Seseorang muncul dari
balik pintu kamar utama. Dia berpakaian rapi, mengenakan baju batik bercorak
coklat kemerahan dengan jilbab polos berwarna krem. Ia melangkah ke ruang utama
sambil memasang jam tangan di lengan kanannya.
"Mama mau
kemana?" tanya Emilia memandang heran.
"Oh, kamu sudah
pulang," ucap Mama tersenyum sambil memandang dan mendekati Emilia. “Mama
akan ke Batam malam ini,” Mama memegangi kedua pundak Emilia.
"Mendadak begini
Ma?"
"Ya, Emilia.”
jawab Mama kemudian mendekati kopernya. “Karena Mama baru dapat kabar dari
atasan Mama bahwa Mama harus mengikuti seminar penelitian selama
seminggu," Mama menarik kopernya lalu kembali menatap Emilia. "Jadi
kamu dan Kakakmu, baik-baik di rumah. Jangan berantem dan saling bantu, ok?"
Mama mencolek hidung mancung Emilia dengan ujung telunjuknya.
"Seminggu? Tapi
aku.. sekolah..." kata Emilia putus-putus. Ragu untuk mengatakan perintah
Bu Ratna siang tadi.
"Kenapa di
sekolah? Kamu baik-baik aja kan?" Mama balik bertanya.
"Hah, Iya.. baik
kok ma.." kata Emilia menyeringai—berbohong.
Seseorang muncul dari
balik pintu kamarnya. Ia mengenakan jaket hitam dengan kaos abu-abu dibaliknya.
Cowok dengan gaya rambut pendek tipis.
"Gibran udah siap
Ma, kita pergi sekarang?" kata cowok bertubuh 172 cm itu. melangkah
mengambil kunci mobil di laci meja di dekat ruang tengah.
“Iya, kita pergi
sekarang. Mama nggak mau ketinggalan pesawat.”
Gibran mengambil koper
Mama dan menaikannya ke dalam bagasi mobil. Sementara Emilia sudah duduk manis
di dalamnya.
Jam menunjukkan pukul lima
lewat sepuluh menit sore. Walaupun begitu, airport
tetap saja tidak pernah sepi. Mama yang mengenakan baju batik melambaikan
tangan kepada kedua anaknya di seberang. Keduanya, Gibran dan Emilia melakukan hal
yang sama ketika Mama telah melakukan check
in.
Emilia menatap wanita
yang telah melahirkannya itu dengan tatapan berat hati. Dia menghembuskan nafas
berat dan menjatuhkan tangannya begitu Mama hilang dari pandangannya.
“Dibilang salah, nggak
dibilang juga salah,” kata Emilia mengeluh. “Serba salah.”
“Apa?” tanya Gibran
curiga, keningnya berkerut menoleh kepada Emilia. “Kamu nggak bilang apa sama
Mama?”
Emilia memandang
kakaknya dengan muka manyun sambil berkata, “Mama, dipanggil ke sekolah.. wali
kelasku pengen ngomong.”
“Kenapa dipanggil?”
Emilia semakin
bersalah, itu tampak jelas di wajahnya. “Nilaiku jeblok!”
Cowok itu menghela
nafas sambil menerawang ke arah lain dengan muka geram, kemudian memandang
adiknya lagi.
PLAK!
“Awww...” teriak
Emilia. Dia kaget dan langsung meraba keningnya.
Gibran memukul kening
Emilia sedikit keras dengan telapak tangan kanannya.
“Sakit tahu!” kata Emilia
balik memandang laki-laki yang berusia dua puluh dua tahun itu.
“Anggap aja itu dari
Mama,” kata Gibran kepada Emilia yang semakin manyun. “Kamu ya.. Kamu ngapain sih
di sekolah sampe nilai jeblok?”
“Abang aja ya yang
datang ke sekolah gantiin Mama,” kata Emilia tidak mengubris pertanyaan Gibran
sambil mengusap-ngusap keningnya.
Lama Gibran menatap
Emilia, sambil berkacak pinggang dengan isi kepalanya yang penuh dengan ketidak
percayaan. Oh tidak, Gibran pasti tahu bagaimana perasaan Mama kalau tahu hal
ini. Ini sangat memalukan.“Please..” bujuk Emilia sambil menyatukan kedua telapak tangan di depan muka. “Tapi jangan bilang Mama..”
“Ayo pulang!” katanya
berjalan, tanpa memberi jawaban pada Emilia.
Emilia terperangah
karena permintaannya tidak dijawab. Dengan perasaan panik, dia segera mengikuti
Gibran ke parkiran. Gibran masuk ke dalam mobil dan Emilia melakukan hal yang
sama, dia kebingungan.
Gibran sudah
menjalankan mobil, namun Emilia tidak henti memandangi cowok itu dari balik
kacamatanya.
“Jangan lihat Abang kayak
gitu!” kata Gibran melihat Emilia sebentar.
Emilia hanya mengangkat
kedua bahunya.
“Ok, hari apa Abang
harus ke sekolah kamu?” katanya dan kembali fokus memperhatikan jalan.
Kata-kata yang keluar
dari mulut Gibran membuat Emilia melebarkan senyuman. “Hari Senin!” katanya
sumringah. “Thanks brother, you’re the
best!”
“Cukup kali ini ya!”
Emilia mengangguk puas.
“Awas aja kalau sempat
ada yang kedua kali...” sambung Gibran.
Mobil itu semakin
melaju dengan cepat.
Komentar
Posting Komentar