Langsung ke konten utama

Untuk kamu, yang menyukai cerita cinta-monyet



PROLOG



EMILIA Folan yang duduk di kelas dua belas di SMA Garuda—sekolah yang cukup terkenal di Indonesia dengan bangunan dan seragamnya—tidak bangga menyatakan dirinya bahwa dia berstatus sebagai siswa di jurusan IPA, disayangkan. Dia tidak suka pada mata pelajarannya, membuatnya kewalahan karena tidak dapat berimajinasi.
Emilia adalah anak kedua dari dua bersaudara, perempuan satu-satunya yang berusia tujuh belas tahun. Dia cewek tinggi-cendrung kurus, diantara cewek di kelasnya dialah yang paling tinggi, tomboy, dan rambutnya yang panjang suka dikuncir acak, kulitnya berwarna sawo karena sering di jemur—mendapat hukuman—sambil hormat di depan tiang bendera sekolah.
Cewek berkacamata minus setengah itu adalah anak dari keluarga yang broken home, Mama dan Papa Emilia telah bercerai sejak dia berusia sebelas tahun. Emilia tinggal bersama Mamanya yang bernama Andien—seorang single parent, Kakak laki-laki yang bermana Gibran, dan seorang wanita paruh baya bernama Jeni, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumah mereka di Permai Indah nomor sembilan.
Andien adalah seorang dosen yang mengajar metodelogi di Universitas Persada, perguruan tinggi swasta. Dia wanita bertubuh tinggi-cendrung gemuk, berkulit kuning lansat, berwibawa, dan berpenampilan bernuansa Islam. Gibran bertubuh tegap juga tinggi, dia seorang mahasiswa di tempat Mamanya mengajar, Fakultas Komunikasi, dan menurut pendapat Emilia, di dunia ini tak ada keluarga lain yang sepenyayang Mama dan Gibran, tetapi mereka juga punya kekurangan yang menjengkelkan.
Mama yang punya sifat egois terhadap Emilia—memaksakan kehendaknya kepada Emilia untuk masuk ke kelas IPA—dan Gibran yang kadang menjadi Kakak yang menjengkelkan—kaki tangan Mama dalam urusan melaporkan apa saja yang dilakukan Emilia, karena pekerjaan Mama yang sibuk hingga dia tidak sempat mengetahui banyak hal tentang Emilia.
Emilia bergidik membayangkan jika Mama tahu dia tidak pernah serius belajar di dalam kelasMelukis sesuatu di dalam kelas saat pelajaran berlangsung, berantem dengan anak cowok karena masalah sepele, atau bangun telat untuk menghindari pelajaran yang membuatnya bosan. Dia tidak ingin Mama ataupun Gibran tahu dengan semua kelakuannya itu.
Ketika Emilia berhadapan dengan wali kelasnya di ruang guru pada hari Sabtu siang yang terik saat cerita ini dimulai, tak disangka rasanya seperti berada dalam angkot penuh, sesak, dan duduk diantara dua orang gemuk yang nyaris menjepitnya.
Emilia mencoba tetap tenang sambil meremas kedua tangan di pangkuannya. Dia menunduk, sesekali menatap wanita di depannya. wanita itu cendrung langsing, bermakeup mini malis, cantik, tapi terlihat galak. Dia tampak seperti bom waktu yang akan meledak karena melihat isi dokumen yang menyatakan semua nilai ulangan yang diperoleh Emilia jauh dari nilai rata-rata.
“Apa ini Emilia?” kata wanita yang mengenakan kemeja donker itu. Suaranya keras menggetarkan ruangan. Keningnya bertaut memandang Emilia. “Semua nilai kamu satu pun nggak ada yang memuaskan!”
Emilia meringis, matanya bergerak ke sudut kanan lalu bergerak ke sudut kiri. Dia sama sekali tidak khawatir atau pun takut ketika wanita dihadapannya memuntahkan kalimat itu. Tetapi dia hanya malu, karena beberapa guru di ruang itu ikut memperhatikannya. Ada wajah yang memberi kesan iba dan ada yang memberi kesan tawa disitu.
“Saya udah usaha Bu, semampu saya..” ucap Emilia, mencari pembelaan.
“Apa yang kamu usahakan? Ngobrol di kelas? Berantem?” kata wanita itu lagi, mengungkit kesalahan Emilia.
Disaat bersamaan muncul seorang cowok dari pintu masuk ruang guru. Cowok itu berwajah indo dan berkulit putih. Rambutnya pendek, rapi, dan dibagian depan ditegakkan hingga menampakan dahinya. Dia mengenakan seragam blazer berwarna dongker, dipadu kemeja putih di baliknya, dan celana panjang coklat muda.
Dia menganggukkan kepala perlahan kepada semua yang melihat dirinya masuk dan berjalan dengan sikap cuek sambil membawa buku-buku ditangannya.
Emilia semakin tidak nyaman karena dia tahu cowok yang masuk barusan itu adalah anak dari kelas sebelas IPA lain.
“Kamu ini perempuan, harusnya kamu berlaku seperti anak perempuan lainnya..” sambung wali kelasnya, tidak peduli dengan siswa yang baru masuk itu.
Cowok itu bergidik mendengar ucapan Bu Ratna sesaat ketika dia meletakkan buku-buku latihan yang dipegangnya di salah satu meja guru.
Oh... Emilia benci dengan kalimat akhir yang dilontarkan wali kelasnya. Dia selalu saja mengalahkan Emilia dengan kebiasaan buruknya di kelasberantem di dalam kelas sampai dia dipanggil ke ruang BK—apalagi cowok itu belum keluar dari ruang guru.
“Kalau Ibu bicara tentang kejadian kemarin, Ibu kan udah tahu, itu bukan salah saya. Niko yang mulai dul...”
“Apapun itu, semua laporan para guru, itu nggak ada yang menyenangkan tentang kamu di kelas, Emilia..” Bu Ratna tidak ingin mendengar Emilia melanjutkan pembelaannya. “Dan satu lagi, kamu selalu datang telat ke sekolah! Apa kamu tahu ini sangat memalukan Ibu sebagai wali kelas kamu. Ini sudah di semester dua dan kamu masih main-main. Apa nggak niat naik ke kelas dua belas?”
Emilia diam, mengatup bibirnya rapat-rapat. Emilia serasa mati kutu dan tidak ingin menyahut. Dia melirik cowok tadi dan Emilia bersyukur cowok itu telah melangkah keluar.
“Ibu nggak mau tahu,”  ujarnya sambil merapikan dokumen-dokumen yang ada di atas meja. “Lusa, Mama kamu harus menemui Ibu setelah pulang sekolah.”
 “Apa Bu, Mama?” Emilia melotot tak percaya.
“Iya, Mama kamu! Siapa lagi yang bertanggung jawab atas diri kamu kalo bukan Mama kamu?”
“Aduh.. jangan Mama dong Bu..” kata Emilia memasang muka memelas. “Ibu boleh hukum saya apa aja, asal jangan panggil Mama ke sekolah.”
“Nggak bisa, itu udah menjadi keputusan mutlak dari Ibu, Emilia. Sekarang kamu boleh kembali ke kelas!” katanya dengan tegas sambil mengayunkan telapak tangan ke arah pintu keluar.
Emilia bergidik. Ini terasa mimpi yang menakutkan baginya tetapi ini kenyataan yang jauh lebih menakutkan.

Komentar