KELALAIAN Emilia pada sikapnya di sekolah membuat Mama terpanggil ke sekolah. Itu sebuah bencana bagi dirinya. Dia berjalan menuju kelas dengan hati gelisah. Sesekali memperbaiki letak kacamata yang tergantung di hidung mancungnya karena sedikit tergelincir. Emilia memperlambat langkahnya sambil mengambil napas panjang. Hatinya sekarang mencelus, bibirnya mengatup seperti burung nuri dengan alis mata yang menyatu dengan kepala menunduk. Ketika dia hendak berbelok ke sudut koridor sebelah kiri, tiba-tiba seseorang muncul dari arah berlawanan. Mereka nyaris saling tabrak dan kaget. Namun Emilia tidak peduli, dia bahkan tidak memandang orang yang ada di depannya karena terlalu fokus melihat langkahnya. Mereka mencoba melanjutkan langkah masing-masing. Namun keduanya saling melangkah ke arah yang sama dan itu terjadi berulang kali. Emilia menarik nafas dan seluruh kekesalannya terkumpul di puncak kepala. “Eh, lo bisa nggak—” kalimat Emilia tertelan. Dia terpaku begitu memandan...